get your widget

20 Januari 2010

Khasiat TAHITIAN NONI® juice

Khasiat TAHITIAN NONI® Juice

Rekomendasi Dokter dan Para Ahli Tentang TAHITIAN NONI® Juice DR. dr. Amarullah H. Siregar, DiHom, DBMed., MA, MSc., PhD. Kandungan Bioaktif dalam Tahitian Noni Juice mempunyai kemampuan untuk merevitalisasi sekaligus meregenerasi sel-sel syaraf dan berperan penting dalam meregulasi sistem kardiovaskular. Doctor of Naturopathy from Clayton College of Natural Health, Birmingham USA. PhD Health Science from Fairfax University New Orleans – USA. Dr. Henry Naland Sp.B Onkologi Noni Juice yang diberikan bersamaan dengan kemoterapi pada pasien kanker akan mengurangi efek samping yang diakibatkan oleh kemoterapi. Dokter bedah Ongkologi FKUI/RSCM & RS. Omni Medical Center Prof. Dr. R.H.H. Nelwan Tahitian Noni Juice mempu menunjang pencegahan dan pengobatan berbagai jenis infeksi sebagai terapi komplimenter.
Profesor of Tropical & Infectious Diseases Department of Internal Medicine University of Indonesia Dr. Samuel Oetoro SpGK Kandungan di dalam Noni Juice mengandung antioksidan yang dibutuhkan bagi penderita diabetes untuk mengurangi kemungkinan timbulnya komplikasi yang menjadi resiko setiap penderita diabetes. Konsultan Gizi Klinik Spesialis Semanggi Siloam Glen Eagle. Dr. Handrawan Nadesul Dari studi literatur yang saya baca, terungkap bahwa jus Noni bekerja meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kita tahu sistem kekebalan tubuh juga banyak berperan dalam sistem pencernaan, bagian dari tubuh kita yang paling beresiko tercemar bibit penyakit. Maka jus Noni mestinya menyehatkan lambung, usus dua belas jari, usus halus dan usus besar, termasuk usus buntu.

- Merevitalisasi sekaligus meregenerasi sel-sel syaraf .
- Meregulasi sistem kardiovaskular.
- Mengurangi efek samping akibatkan kemoterapi.
- Pencegahan dan pengobatan berbagai jenis infeksi sebagai terapi komplimenter.
- Antioksidan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya komplikasi pada penderita diabetes.
- Meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
- Menyehatkan lambung, usus duabelasjari, usus halus dan usus besar, termasuk usus buntu.
- Menghilangkan kista yang bersarang pada kelenjar hormon.
- Penderita infeksi paru - paru.
- Tumor paru-paru ganas- dll.

n/b : Dosis aturan : Dapat digunakan untuk bayi ( 1 - 3 tetes ) anak kecil dan dewasa, dengan disesuaikan menurut keluhan penyakit. Disamping itu dapat digunakan sebagai multivitamin.
sumber http://dhuwuh.blogspot.com/2009/01/khasiat-tahitian-noni-juice.html



Read more...

AHLI BID’AH MENGAKU-NGAKU AHLI SUNNAH

AHLI BID’AH MENGAKU-NGAKU AHLI SUNNAH
Oleh:
Syaikh Abu ‘Abdis Salam Hasan bin Qosim al-Husaini


Sesungguhnya banyak kelompok-kelompok bid’ah mengaku-ngaku berada di atas manhaj salaf sholih, namun pengakuan mereka ini tidak dapat diterima (begitu saja) karena pengakuan mereka ini hanyalah klaim belaka yang tidak disokong bukti (dalil). Sekiranya pengakuan belaka bermanfaat dengan sendirinya, maka niscaya (pengakuan) Yahudi dan Nasrani juga bermanfaat tatkala mereka mengklaim bahwa surga itu hanya khusus bagi mereka saja, sebagaimana yang difirmankan Alloh tentangnya :

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS al-Baqoroh : 111)
Seandainya pengaku-ngakuan belaka membuahkan manfaat dengan sendirinya, niscaya Fir’aun adalah orang yang benar dengan apa yang didakwakannya, dimana Alloh menfirmankan tentangnya :

قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَى وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ

Fir’aun berkata: “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang Aku pandang baik; dan Aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”. (QS Ghaafir : 29)

Sesungguhnya pengaku-ngakuan (klaim/dakwaan) belaka tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan disertai keterangan dan burhan. Imam Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahih mereka dari hadits Ibnu ’Abbas Radhiyallahu ’anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

لو يعطى الناس بدعواهم لادع ناس دماء رجال وأموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه

”Seandainya manusia diberi hanya cukup dengan dakwaannya saja, niscaya manusia akan mendakwakan darah dan harta seseorang. Hanya saja orang yang didakwa cukup dengan bersumpah.” (lafazh riwayat Muslim)2

Dikeluarkan pula oleh Imam at-Turmudzi di dalam Sunan-nya dari hadits ’Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه

”(Harus ada) bukti bagi yang mendakwa dan sumpah bagi yang didakwa.”3

Imam Nawawi rahimahullahu berkata : “Hadits ini* merupakan kaidah yang besar diantara kaidah-kaidah hukum syar’i. Di dalam kaidah ini (terdapat hukum) tidak diterimanya ucapan seseorang tentang apa yang didakwakannya sebatas hanya dakwaan belaka, namun diperlukan bukti dan pembenaran dari orang yang didakwa.”4

Alangkah tepatnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair

والدعاوى مالم تقيموا عليها *** بيــــــنات أبنائها أدعياء

”Pengaku-ngaku yang tidak menyokong pengakuannya

Dengan bukti-bukti maka ia hanyalah pengaku-ngaku belaka.”

وكل يدعي وصـــلا لليلى *** وليلى لاتقـــر لهم بـذاك

“Semua mengaku-ngaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila memungkiri pengaku-ngakuan mereka itu.”

Diantara bentuk klaim dakwaan belaka yang menyebar dari timur hingga ke barat adalah apa yang diucapkan oleh Hasan al-Banna, seorang pendiri partai al-Ikhwan al-Muslimun. Ia berkata : ”Wahai kaum kami, sesungguhnya kami menyeru anda sekalian, dan al-Qur’an ada di tangan kanan kami dan as-Sunnah di tangan kiri kami serta amalan salaf yang shalih dari putera-puteri umat ini adalah taudalan kami.”3

Aku (Syaikh Hasan al-Husaini) berkata : Sesungguhnya klaim yang kosong dari bukti yang nyata ini, dibatalkan dari pokoknya oleh landasan yang dibangun di atasnya partai al-Ikhwanul Muslimun mulai dari pendirinya sampai anggota terkecilnya. Aku sekarang tidak akan menjelaskannya secara terperinci (masalah ini) karena telah cukup bagi kita sejumlah tulisan yang ada di zaman kita ini (yang berbicara tentang al-Ikhwanul Muslimun), diantaranya adalah :

Ath-Thorîq ilâ al-Jamâ’ah al-Umm6

Waqofât ma’a Kitâbi lid Du’ât Faqoth7

Adhwâ` Islâmiyyah ’alâ Aqîdati Sayyid Quthb wa Fikruhu8

Mathô’in Sayyid Quthb fî Aśħâbi Rosŭlillah Shallallâhu ’alaihi wa Sallam9

Al-’Awâśim fîmâ fî Kutubi Sayyid Quthb minal Qowâśim10

Al-Mauridu az-Zilâl fî Akhthô`i aż-Żilâl11

Da’watu al-Ikhwân al-Muslimîn fî Mîzânil Islâm

Haqîqotu ad-Da’wah ilâllôhi Ta’âla

Al-Quţbiyyah hiyal Fitnah fa’rifŭhâ12

Dan lain lain

Kendati demikian, aku cukupkan pembatalan klaim ini dengan apa yang dinyatakan oleh Hasan al-Banna sendiri, dimana ia berkata : Kita saling bekerja sama di dalam perkara yang kita sepakati dan memberikan toleransi satu dengan lainnya di dalam perkara yang kita perselisihkan.13

Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata : ”Adapun memberikan toleransi satu dengan lainnya di dalam perkara yang kita perselisihkan tidaklah mutlak demikian…. apabila di dalam perkara ijtihad yang dalilnya masih samar-samar, maka wajib tidak ada pengingkaran di dalamnya… adapun bila menyelisihi nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah maka wajib mengingkari siapa saja yang menyelisihi nash.”14

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullahu berkata di sela-sela bantahan beliau terhadap salah seorang kalangan mereka (IM) : ”… Dan dakwah ini memungkinkan untuk mengajak seorang penyeleweng walaupun sangat besar tingkat penyelewengannya (ke dalam barisan IM, pent.)… akan tetapi tidak ada suatu kelanggengan di atas (berhimpunnya) madzhab-madzhab bathil…”13

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata : ”Ini merupakan penetapan kaidah yang muhdats (baru) lagi rusak karena tidak ada toleransi bagi orang yang menyelisihi hukum-hukum qoth’i (pasti) di dalam Islam, bahkan sesungguhnya hal ini merupakan kesepakatan kaum muslimin, (yaitu) tidak ada toleransi maupun peremehan terhadap keyakinan yang telah diterima (oleh kaum muslimin).”16

Syaikh kami, ’Ali bin Muhammad al-Faqihi berkata : ”Dan kaidah yang mutlak ini tanpa (adanya) pembatasan adalah rusak dan batil, karena dengan kesepakatan kaum muslimin, tidak boleh ada toleransi maupun peremehan terhadap masalah keyakinan (aqidah) yang telah diterima, tidak pula para imam agama Islam berselisih di dalam masalah ushul (pokok), sebab termasuk diantara keburukan kaidah ini adalah kita dapatkan orang-orang yang berpendapat dengan kaidah ini, terhimpun di bawah slogan mereka ini : orang-orang yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah Shallallalhu ’alaihi wa Salam terutama tiga al-Khulafa`ur Rasyidun yang telah dipersaksikan dengan surga17 dan mereka mendakwakan adanya perubahan al-Qur’an sebagaimana di dalam buku-buku mereka terdahulu maupun kontemporer18. Kemudian, masuk pula ke dalam slogan mereka ini semua anggota Ba’tsi (pengikut partai Ba’ats) yang mulhid (atheis/komunis) yang mendendangkan taqiyah (kedustaan) dan nifaq (kemunafikan) sebagai syiar agama Islam. Sebagaimana pula terhimpun di dalam slogan ini kaum sufi yang pemikiran dan cara beragamanya terhubung dengan keyakinan Wahdatul Wujud (Inkarnasi/Manunggaling Kawula Gusti) dan mengklaim bahwa mereka mengambil cara-cara beragamanya dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam secara langsung. Dan orang yang menyetujui di dalam buku-bukunya dari kalangan simpatisan jama’ah ini pencetus slogan ini, (ia berpendapat) bahwasanya tidak mengapa seorang muslim menggantungkan keperluannya kepada orang-orang suci yang telah meninggal dan bersamaan dengan itu ia menuntut penerapan syariat Islam. Kami tidak tahu hukum syariat Islam apakah (yang hendak ditegakkan) di dalam dakwah yang secara terang-terangan (menyeru) kepada kesyirikan terhadap Alloh, padahal tidak ada yang mampu memenuhi segala kebutuhan makhluk melainkan pencipta mereka Subhanahu wa Ta’ala :

مْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

”Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi]? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).”19

Aku berkata : menjadi jelaslah bahwa kaidah ini membatalkan apa yang didakwakan olehnya yaitu klaimnya bahwa amal salaf sholih dari umat ini adalah tauladannya dan tauladan jama’ahnya.

Termasuk yang membatalkan klaim ini juga adalah apa yang ia katakan dalam sebuah konferensi yang dihadiri bersama oleh dewan persekutuan Amerika Inggris. Dia berkata : ”Aspek yang akan saya bicarakan ini merupakan poin yang luas dari segi agama, karena poin ini acapkali tidak begitu difahami oleh dunia barat. Oleh karena itulah dengan senang hati aku akan menjelaskannya secara ringkas. Maka aku tetapkan, bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah permusuhan karena faktor agama, karena al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita untuk berteman dan bersahabat dengan mereka. Islam merupakan syariat insaniyah (humanisme) sebelum menjadi sebuah syariat qoumiyah (spesifik terhadap umat tertentu), Islam pun memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka suatu persesuaian

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS al-Ankabut : 46)

Dan tatkala ingin mengambil masalah Yahudi (sebagai permusuhan) maka dikembalikan kepada aspek ekonomi dan perundang-undangan, Alloh Ta’ala berfirman :

”Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka.” (QS an-Nisaa` : 10)20

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : ”Bahkan Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam diutus dengannya (risalah) dan mengkafirkan siapa saja yang menyelisihi (risalah)-nya seperti perintah beliau untuk beribadah hanya kepada Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan larangan beliau dari beribadah kepada sesuatupun selain Alloh… dan seperti bentuk permusuhan beliau kepada Yahudi, Nasrani, kaum musyrikin, Shabi’in (paganis) dan Majusi (zoroaster)…”21

Aku berkata : Perhatikanlah wahai pembaca budiman, ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu yang menjelaskan bahwa Yahudi sendiri mengetahui dengan baik bahwa Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam diutus dengan permusuhan kepada mereka. Lantas bagaimana dengan orang yang mengafiliasikan dirinya kepada salafiyyah secara bohong dan dusta sedangkan ia mengatakan Maka aku tetapkan, bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah permusuhan karena faktor agama!

Alloh Ta’ala berfirman :

مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

”Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar.” (QS an-Nur : 16)

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin Baz berkata ketika disodorkan pernyataan ini : ”Ini adalah perkataan yang batil dan buruk. Yahudi adalah manusia yang paling memusuhi kaum mukminin, mereka adalah seburuk-buruk manusia, bahkan mereka adalah kaum yang paling keras permusuhannya kepada kaum mukminin diantara kaum kuffar lainnya, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا

”Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. ” (QS al-Maidah : 82).

Orang-orang Yahudi dan Watsaniyun (paganis/penyembah berhala), mereka adalah manusia yang paling keras permusuhannya kepada kaum mukminin. Ucapan ini adalah pernyataan yang salah, zhalim, buruk dan mungkar. Wajib bagi orang yang mengucapkannya bertaubat kepada Alloh dan kembali kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala dan menyesali atas ucapannya yang jelek ini.”22

Aku berkata : Dan termasuk juga yang membatalkan klaimnya adalah aqidahnya yang tafwidh23 dan (mendakwakannya bahwa) ”mentafwidh (menyerahkan) pengetahuan makna sifat termasuk pemahaman salaf”. Ia berkata : ”Kami berkeyakinan bahwa pemahaman salaf adalah mendiamkan atau mentafwidh pengetahuan makna-makna (shifat) ini kepada Alloh Tabaroka wa Ta’ala lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti.”24
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : ”Telah terang bahwa ucapan para penganut faham tafwidh yang mengira bahwa mereka mengikuti sunnah dan salaf adalah termasuk seburuk-buruk ucapan ahli bid’ah dan ilhad (penyeleweng).”23

Syaikh Muhammad Khalil Hirras rahimahullahu berkata : ”Termasuk pendapat yang salah yaitu menganggap bahwa pendapat ini (tafwidh) merupakan madzhab salaf sebagaimana orang-orang kontemporer menyandarkannya, baik dari kalangan Asy’ariyah maupun selainnya. Karena Salaf tidak pernah mentafwidh pengetahuan akan makna (shifat) dan mereka tidak pernah membaca suatu kalimat yang mereka tidak memahami maknanya. Namun, mereka memahami makna-makna nash dari al-Kitab dan as-Sunnah dan mereka menetapkannya bagi Alloh Azza wa Jalla, lalu mereka menyerahkan hakikat atau kaifiatnya, sebagaimana dikatakan oleh Malik ketika ditanya tentang kaifiat istiwa’ (bersemayamnya) Alloh Ta’ala di atas Arsy : ”Istiwa` itu telah maklum (difahami maknanya) sedangkan kaifiatnya majhul (tidak diketahui).”26

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin Baz rahimahullahu berkata : ”Bukan perkara yang lebih selamat mentafwidh perkara di dalam masalah Shifat menjadi perkara ghaib, dikarenakan Alloh Subhanahu menjelaskannya kepada hamba-hamba-Nya dan Ia terangkan di dalam Kitab-Nya Yang Mulia dan dari lisan Rasul-Nya al-Amin Shalallahu ’alahi wa Salam, namun Ia tidak menerangkan akan kaifiatnya. Maka wajib mentafwidh pengetahuan akan kaifiatnya bukan pengetahuan akan maknanya, dan tafwidh ini sendiri bukanlah bagian dari madzhab salaf namun ia adalah madzhabnya mubtadi’ yang menyelisihi apa yang difahami oleh Salaf Shalih.”27

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin berkata : ”Dengan demikian kita mengetahui kesesatan atau kedustaan orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya thoriqoh salaf itu adalah tafwidh. Mereka telah sesat apabila mengatakan demikian dikarenakan kejahilan akan thoriqoh salaf, namun telah berdusta apabila mereka mengatakannya dengan sengaja… ’Ala kulli haal, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa sesungguhnya madzhab ahlus sunnah adalah tafwidh, maka mereka telah salah karena madzhab ahlus sunnah itu menetapkan makna namun mentafwidh kaifiat.”28

Beliau juga berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Taimiyah terdahulu : ”Telah benar beliau rahimahullahu, apabila anda perhatikan maka anda dapatkan (pada mereka yang berfaham tafwidh) pendustaan terhadap al-Qur’an, menuduh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bodoh dan bertele-tele dengan ilmu filsafat.”29

Aku berkata : Al-Banna banyak sekali membuat kebid’ahan yang membatalkan akan dakwaannya bahwa amal salaf merupakan tauladannya. Bagi yang ingin menelaah lebih jauh tentang ucapan-ucapan bid’ahnya, maka silakan merujuk kepada buku-buku yang menjelaskan akan keboborokan al-Ikhwanul Muslimun diantaranya yang telah berlalu penyebutannya. Wallohu ’alam.

Termasuk dakwaan belaka yang kosong dari dalil dan burhan (keterangan yang nyata) adalah apa yang didakwakan oleh ’Abdul Majid ar-Raimi30 yang mengeluarkan sebuah kaset yang berjudul ”Ar-Ruju’ ila Fahmis Salaf” (Kembali kepada pemahaman salaf), mungkin lebih tepat apabila diberi judul dengan ”Ar-Ruju’ ila Fahmil Kholaf”. Kaset ini dipenuhi oleh pujian terhadap Jama’ah Jihad31 dan celaan terhadap sebagian ulama sunnah as-Salafiyyun serta keburukan-keburukan lainnya yang menyelisihi kebenaran manhaj Salaf Shalih. Kami katakan kepada ’Abdul Majid ar-Raimi : Apakah termasuk kembali kepada pemahaman salaf shalih adalah memuji ahli bid’ah dan mengagungkan mereka, padahal ulama salaf telah menjelaskan pada kita bagaimana cara berinteraksi dengan ahli bid’ah?

Diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Abu ’Utsman ash-Shobuni rahimahullahu : ”Mereka (salaf ashhabul hadits) bersepakat untuk merendahkan ahli bid’ah, menghinakan mereka, mencela mereka, menjauhkan mereka, menyingkirkan mereka, menjauhi mereka dengan tidak bersahabat dan berteman dengan mereka serta bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Azza wa Jalla dengan cara meninggalkan dan memboikot mereka.”32

Apakah termasuk manhaj salaf mencela ulama sunnah as-Salafiyyin sebagaimana yang kau katakan di dalam kasetmu al-Qodhiyah al-Filisthiniyah : ”Mereka ini adalah penjilat penguasa, semoga Alloh menghinakan mereka yang senantiasa memberikan kepada penguasa fatwa-fatwa yang mereka kehendaki.”

Abu Hatim ar-Razi rahimahullahu berkata : ”Ciri-ciri ahli bid’ah adalah celaan mereka kepada ahli atsar.”33

Apakah termasuk manhaj salaf mengkafirkan penguasa kaum muslimin dan memberontak darinya walaupun mereka berbuat aniaya atauppun fasiq sebagaimana yang engkau dengangdengungkan di dalam kasetmu Hatta Laa Taghriiqus Safiinah wa Fiqhul Waaqi’.

Imam ath-Thohawi rahimahullahu berkata : ”Kami tidak memandang (bolehnya) keluar dari para pemimpin dan penguasa kami walaupun mereka berbuat jahat. Kami tidak mendoakan keburukan atas mereka dan tidak melepaskan baiat untuk mentaati mereka dan kami memandang bahwa mentaati mereka dari ketaatan Alloh Azza wa Jalla adalah wajib selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat dan kami doakan bagi mereka kebaikan dan ampunan.”34

Apakah termasuk manhaj salaf apa yang kau katakan di dalam kasetmu Mafaasid ad-Dimuqrathiyah –bagian 2- dimana (kau mengatakan) bahwa pemilu merupakan masalah ijtihadiyah sebagaimana membaca al-Fatihah di belakang imam? Apakah –demi Alloh- merubah hukum Alloh dengan hukum manusia termasuk masalah ijtihadiyah? Apakah penyetaraan orang yang alim dengan jahil, seorang laki-laki dengan wanita, orang yang bertakwa dengan orang fasik di dalam urusan agama termasuk masalah ijtihadiyah? Padahal telah diketahui bersama bahwa suara dari tiap-tiap orang dianggap sebagai persaksian yang sama pada orang yang ikut pemilu. Apakah kebebasan pendapat dan pendapat lainnya termasuk masalah ijtihadiyah? Apakah menfoto wanita termasuk masalah ijtihadiyah?

Sungguh besar ucapan yang keluar darimu dan yang kau katakan hanyalah kedustaan belaka. Alloh Ta’ala berfirman :

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

”Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS al-Hajj : 46).

Inilah keburukan-keburukan yang diperpegangi oleh ’Abdul Majid ar-Raimi, yang tidaklah disebutkan di sini melainkan hanya sedikit dari (kesalahan-kesalahan)-nya yang berlimpah. Barangsiapa yang mengingkan tambahan pengetahuan tentang orang ini, maka silakan baca buku Tanbiih al-Afaadhil ’ala Talbiisaat Ahlil Baathil karya saudara kami, Abu Hummam ash-Shumi’i al-Baidhoni, yang menerangkan akan kebatilan penamaan kasetnya dengan judul Ar-Ruju’ ila Fahmis Salaf.



Catatan Kaki :

1 Dialihbahasakan oleh Abu Salma dari Irsyadul Bariyah ila Syar’iyyatil Intisaabi lis Salafiyyah wa Dahdhu asy-Syubahil Bid’iyyah karya Syaikh Abu ‘Abdis Salam Hasan bin Qosim al-Husaini ar-Raimi as-Salafi, taqdim oleh al-‘Allamah Muqbil bin Hadi rahimahullahu, pasal ke-8, Intisaabu al-Firoq al-Mubtadi’ah lis Salafiyyah Da’awa Kholiyah minad Dalil, hal. 60-68, Cet. I, 1421/2000 Darul Atsar, Shan’a, Yaman.

2 Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab tafsir, bab Innad Diina Yasytaruu bi Ahdillahi wa Aymanihim Tsamanan Qoliilan (VIII/213) dan Muslim, kitab al-Aqdhiyah, bab al-Yamin ‘alal Mudda’a ‘alaihi (III/133).

3 Sunan at-Turmudzi, kitab al-Ahkam, bab Ma Ja’a fi annal Bayyinah ‘alal Mudda’iy (III/6626) dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih at-Turmudzi (II/37-38).

* yaitu hadits muttafaq ’alaihi.

4 Syarh Nawawi terhadap (Shahih) Muslim (XII/3).

3 Majmu’atur Rosa`il hal. 33, cet. Dar asy-Syihab.

6 Karya Syaikh ‘Utsman ‘Abdus Salam Nuh, pent.

7 Karya Muhammad bin Saif al-‘Ajmi, pent.

8 Karya al-‘Allamah DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Darul Falah, pent.

9 Karya al-‘Allamah DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Darul Falah pent.

10 Karya al-‘Allamah DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi, pent.

11 Karya Syaikh ‘Abdullah ad-Duwaisy, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Darul Qolam, pent.

12 Karya Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan al-Adnani

13 Dikutip dari ath-Thoriq ilal Jama’atil Umm karya Utsman ’Abdus Salam Nuh, hal. 10. Dan mengenai ucapan ini sendiri lihat Majmu’atur Rosa`il karya Hasan al-Banna hal. 23-24.

14 Majmu’ al-Fatawa – penghimpun asy-Syuwai’ir (III/83).

13 Al-Bayan hal. 206.

16 Hukmul Intimaa` hal.149.

17 Yaitu Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman ridhwanullah ’alayhim ajma’in, pent.

18 Yang dimaksud oleh Syaikh adalah kelompok Syiah yang membinasakan, pent.

19 Al-Washooya minal Kitaabi was Sunnah (al-Majmu’ah ar-Robi’ah) hal. 67.

20 Al-Ikhwanul Muslimun Ahdaats Shona’at at-Taarikh karya Mahmud ‘Abdul Halim (I/409).

21 Majmu’ al-Fatawa (IV/43).

22 Melalui perantaraan Da’watu al-Ikhwan al-Muslimin fi Miizanil Islaam, hal. 161.

23 Tafwidh adalah pemahaman di dalam tauhid Asma` wa Shifat, yang menyerahkan dan tidak menetapkan makna Shifat kepada maknanya yang hakiki yang telah maklum. Aqidah ini menyelisihi aqidah ahlus sunnah yang menetapkan makna shifat namun mentafwidh (menyerahkan) hakikat shifat. Pent.

24 Majmu’atur Rosa`il (Aqo`id) hal. 33.

23 Dar`u Ta’aarudhil Aqli wan Naqli (I/203).

26 Syarhul Aqidah al-Wasithiyah hal. 21-22.

27 Majmu’ Fataawa wa Maqoolaat Mutanawwi’aih (III/33) dihimpun oleh asy-Syuwai’ir.

28 Syarhul Aqidah al-Wasithiyah (I/92-93)

29 Ibid (I/39)

30 Ia adalah salah seorang du’at sururi di Shan’a Yaman.

31 Maksudnya Jama’ah Takfir yang mengatasnamakan aktivitas tadmir dan tafjir (perusakan dan pengeboman) dengan nama jihad. Karena salafiyun tidak mengingkari jihad sebagaimana tuduhan dusta yang dialamatkan oleh hizbiyun takfiriyun. Salafiyun menetapkan jihad syar’i namun menolak aktivitas perusakan dan pengahancuran yang diatasnamakan jihad, pent.

32 Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal. 123.

33 Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah karya al-Laalika`i (I/179).

34 Syarh Aqidah ath-Thohawiyah hal. 468.



Read more...

4 Februari 2009

RAPOR MERAH DEMOKRASI

INILAH WAJAH DEMOKRASI (RAPOR MERAH DEMOKRASI)
oleh kiki

KOMPAS, Rabu tanggal 4 Februari 2009 memberitakan telah terjadi kejadian maut yang merengut jiwa Ketua DPRD Sumatera Utara. Maut datang bagai pencuri. Namun, maut yang menjemput wakil rakyat saat menjalankan tugas sebagai wakilrakyat saat menjalankan tugas sebagai pengemban amanah yang diwakilinya tak pernah di bayangkan orang. Abdul Aziz Angkat (51), Ketua DPRD Provinsi SUMUT, mengalaminya.




sumber waspada.co.id

Ia meninggal di tengah aksi brutal (dan anarkis) ribuan demonstra yang menuntut agar DPRD SUMUT mengeluarkan rekomendasi pembentukan Provinsi Tapanuli.
Keluarga amat terpukul dan shock bahkan istrinya berkali kali pingsan. Memang beliau mempunyai riwayat penyakit jantung dan pernah mengalami operasi by pass akibat jantung koroner.
Namun pada kejadian itu beliau juga terkena "jotos" oleh salah seorang demonstran dan akibatnya mengalami luka lebam di wajah beliau dan memar di tubuh beliau akibat himpitan dari amuk masa. Dan sekarang tuntutan atas nama demokrasi telah terlihat rapor merah, borok dan bahkan demokrasi inipun telah berbalik menjadi ancaman
Kepada mereka yang masih beranggapan bahwa perbedaan pendapat tentang demokrasi adalah perbedaan pendapat dalam ranah wasa’il dan furu’iyyah (cabang agama), tidak menyentuh ranah ushul (pokok agama) dan i’tiqad (keyakinan)….
Kepada para da’i tambal sulam, koleksi dan penggabungan (manhaj dan ideologi)….
Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….
Kepada mereka yang mencampuradukkan –secara dusta– demokrasi dengan syura dan Islam….
Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…
Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan demokrasi, kemudian setelah itu mengaku dirinya seorang muslim…
Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun itu kehendak Allah. Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.
Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).
Hal ini berarti bahwa yang diper-tuhan, yang disembah dan yang ditaati –dalam hal perundang-undangan– adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah,
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)
dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (al-Kahfi:26)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (asy-Syura:21)
Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(al-An’am:121)
Oleh karena kalian telah menyembah mereka, dari aspek ketaatan kalian kepada mereka dalam hal menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka kalian telah berbuat syirik dengan menyembah mereka. Karena syirik itu, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah, adalah mengarahan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.
Demikian juga firman Allah
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (at-Taubah:31)
Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri’, menghalakan dan mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.
Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada Allah dan rasul-Nya. Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (asy-Syura:10)
Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan diserahkan kepada selain rakyat. Firman Allah,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (an-Nisa’:59)
Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.
Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah saw.
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia
Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah saw
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ..
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat… (HR Bukhari dan Muslim)
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ ، حَتَّى يُعْبَدُ اللهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ..
Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata disembah dan tidak disekutukan.
Dan telah maklum bahwa Islam memberikan tiga alternatif untuk ahli kitab, yaitu: masuk Islam, membayar jizyah dengan sikap tunduk, atau perang. Adapun kepada para penyembah berhala, seperti kaum musyrik Arab dan lain-lainnya, maka bagi mereka ada dua lternatif yang bisa dipilih, yaitu masuk islam atau diperangi.
Demikian juga ketika Isa as turun –sebagaimana diinformasikan di dalam as-sunnah– maka ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menjatuhkan jizyah, dan tidak menerima ajaran para orang-orang yang menyimpang –termasuk ahlul kitab– selain Islam, atau berperang.
Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara’ lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan firman Allah
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256)
Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya panjang lebar. Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti pengingkaran terhadap sistem demokrasi. Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat.
Inilah hakekat kekufuran terhadap Allah, karena di dalam Islam tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan kata-kata kufur dan syirik, tidak ada kebebasan untuk hal yang merusak dan tidak membawa maslahat, tidak ada kebebasan untuk hal yang menghancurkan dan tidak membangun, serta tidak ada kebebasan untuk memecah belah tidak membangun persatuan. Firman Allah
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (an-Nisa’;14 )
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (az-Zumar:9)
Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam pandangan agama demokrasi mereka sama saja.
Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun organisasi non politik. Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah dan manhaj yang menadi dasar (asas) organisasi itu. Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang merusak di seluruh penjuru negeri.
Hal ini dalam pandangan syara’ adalah penerimaan dengan suka rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan, kemurtadan dan kerusakan. Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman Allah
Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau bersabda
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (HR Muslim)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan. Adapun berinteraksi dengan kemunkaran sehingga muncul keridloan terhadap kemungkaran tersebut, maka ini merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis berikut ini
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلٍ
"Maka siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh untuk mengubah kemungkaran) mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad dengan lisannya maka ia mukmin, dan yang berjihad dengan hatinya maka ia mukmin. Dan di balik itu semua tidak ada iman meskipun sebesar biji sawi"
Maksudnya, diluar pengingkaran dengan hati itu tidak lain adalah keridlaan. Ridla terhadap kekufuran menyebabkan hilangnya iman dari pemeluknya
Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena enggan naik ke atas untuk mengambil air. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya itu dikatakan
فَإِنْ تَرَكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعاً ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka dan apa yang mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika mereka mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka akan selamat dan semuanya akan selamat
Inilah perumpamaan demokrasi, ia mengatakan dengan sejelas-jelasnya, "Tinggalkanlah partai-partai yang dengan kebebasannya akan menenggelamkan kapal. Sebab tenggelamnya kapal akan menenggelamkan seluruh penumpangnya, dan segala harta yang ada di dalamnya".
Tetapi jika hanya meninggalkan partai-partai yang bathil tanpa mengingkari dan memerangi kebathilannya atau kita hanya mengingkari kemungkaran tanpa berusaha mencegah kemunkaran yang akan menyebabkan hancurnya masyarakat, yang didalamnya terdapat kaum muslimin, apakah salah kalau dikatakan bahwa kita telah mengakui keabsahannya dan kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan diinginkan.
Sikap itu –pengakuan akan keabsahan suatu partai yang bathil– juga akan menyebabkan terpecah-belahnya ummat dan melemahkan kekuatannya, merusakkan kesetiaan mereka kepada kebenaran karena bergabung dengan partai syetan yang menyimpang dari kebenaran, dan meninggalkan ajaran yang diturunkan oleh Allah karena mengikuti seruan penguasa.Hal ini bertentangan dengan firman Allah;
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali Imran:103)


Dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw


عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ ، مَنْ أَرَادَ بِحُبُوْحَةِ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ
Hendaklah kalian berada di dalam jama’ah dan jauhilah firqah. Sesungguhnya syetan bersama dengan orang yang sendirian dan terhadap orang yang berdua ia menjauh, barangsiapa yang menginginkan sorga yang terbaik maka hendaklah setia terhadap jama’ah (HR Ahmad dan Tirmidzi)


Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (al-An’am:116)
Dan di dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda;



إِنَّ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصْدِقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ
Sesungguhnya di antara para nabi ada yang tidak diimani oleh umatnya kecuali hanya seorang saja (HR Muslim)


Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?
Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Amr bin Maimun, "Jumhur jama’ah adalah orang yang memisahkan diri dari al-Jama’ah, sedangkan al-Jama’ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) meskipun hanya dirimu seorang"
Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan, "ketahuilah bahwa ijma’, hujjah, sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini menyelisihinya.
Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar’I (bagian dari syati’ah).
Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat:1-2)
Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi saw saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbnuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (al-Ahzab:36)
Tetapi demokrasi akan mengatakan, "Ya, harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah"
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan berbagai car yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt. Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap, dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’. Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tyanpa mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan balasan adzab yang pedih. Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (at-Taubah:111)
Jiwa adalah milik Allah, maka Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin– untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka, sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan
Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan jihad, beliau berpesan,



إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ ، وَلَهُ مَا أَعْطَى
Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan kepunyaan-Nya juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud).



Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.
Secara ringkas, inilah demokrasi!!
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.
Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar’iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadnaya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.
Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyabut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar’i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.
Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakan, "Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari’ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.
Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kedhaliman. Tentang mereka itu kami katakan, "Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta’wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar’iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.
Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari’ah atau bahkan tidak mempedulikan syari’ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani’ (penghalang) takfir pada dirinya,sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a’lam
Inilah demokrasi, inilah hukumnya, hukum orang yang menyerukannya dan yang mengikutinya, apakah kau bersedia untuk meninggalkannya, apakah kau mau meninggalkannya?
Allahumma inni qod ballaghtu, fasyhad
Ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan, maka saksikanlah





Read more...

kliks

kliks2

kliks3

kliks4

Subscribe Now: Feed Icon

Subscribe Now: google

Add to Google Reader or Homepage

iklan yaach

hit counters


home security